Seratus Hari Ambisi Maritim
Tak
terasa roda pemerintahan Presiden Joko Widodo telah lebih 100 hari usianya. Inilah
masanya bagi kita untuk mengkilas-balik apa yang telah dicapai oleh Jokowi,
begitu sapaan akrab presiden RI ke-7 itu, di bidang kemaritiman. Memang, tidak
ada aturan yang mengharuskan bahwa kinerja pemerintahan musti dinilai dalam
seratus hari. Namun, tidak ada pula aturan yang melarang siapa pun untuk menilai
pemerintahan dalam masa seratus hari sejak ia dilantik. Apa lagi, sejak angin
reformasi berhembus di Tanah Air media massa nasional telah menubuhkan satu praktik
jurnalistik yang dikenal dengan pemberitaan “100 Hari Pemerintahan Presiden X”.
Ambisi
kemaritiman Jokowi terdiri dari dua bagian, yakni tol laut dan poros maritim.
Keduanya dimunculkan ke hadapan publik oleh Jokowi saat kampanye pemilihan
presiden (pilpres) 2014 lalu. Pengistilahan keduanya sangat khas Jokowi: out of the box alias tidak hendak tunduk
kepada kelaziman dalam dunia kemaritiman mondial. Sebetulnya,
penggunaan nomenklatur baru, seperti kata orang Betawi, suka-suka gue dong. Tetapi harap diingat, karena dunia kemaritiman
adalah satu-satunya bisnis yang diatur secara internasional kesamaan bahasa dan
pemaknaannya mutlak diperlukan.
Tol laut
lebih dikenal dalam dunia pelayaran sebagai pendulum, sementara poros maritim
lazim diistilahkan dengan international
maritime center. Literatur kemaritiman mengatakan pendulum adalah a voyage pattern for container ships based
on cargo availability at the port of call. As long as there are cargoes at the
port, the ship operator will deploy their vessels regularly and punctually.
Sementara itu, international maritime center (IMC) dipahami sebagai a port or country that provides various
facilities and incentives to the foreign maritime-related companies doing
business in it (Siswanto, The Jakarta
Post, 3 Desember 2014).
Dengan
pendekatan out of the box yang
diambil, akhirnya tol laut (pendulum) dimaknai sebagai proyek pembangunan
pelabuhan tanpa memikirkan apakah pelabuhan itu akan disinggahi kapal atau
tidak. Alokasi anggaran yang disiapkan juga tidak tanggung-tanggung, mencapai
700 triliun rupiah untuk 24 pelabuhan. Dalam bisnis pelayaran, ships follow the trade. Artinya, selama
suatu pelabuhan mampu atau memiliki kargo pengusaha pelayaran akan dengan
senang hati mengoperasikan kapal-kapal mereka dengan pola tetap (liner) tanpa perlu diwajibkan oleh pemerintah.
Jika tidak ada atau hanya sedikit
barang yang tersedia di pelabuhan, pengusaha pelayaran biasanya akan
mengoperasikan armadanya dengan pola tramper
atau tidak berjadwal. Dari sisi ongkos, tramper
lebih mahal lebih dari sistem liner.
Ini karena setelah menyinggahi pelabuhan dan membongkar muatannya, kapal yang
dioperasikan dengan pola tramper biasanya kembali dengan muatan kosong.
Sementara itu biaya bunker, pelayanan
kapal di pelabuhan dan lainnya tetap. Untuk menutup biaya-biaya tersebut,
operator kapal tramper akan mengenakan freight
dua kali lipat kepada shipper
(pemilik barang). Inilah alasan mengapa ongkos angkut dari Jakarta ke Indonesia
timur lebih mahal dibanding ke daerah lain yang kegiatan perekonomiannya
relatif lebih berkembang seperti Medan, Padang dan lainnya.
Pembangunan
pelabuhan sah-sah saja tapi membangunnya tanpa memikirkan apakah kapal akan
menyandarinya kelak jelas suatu pemborosan. Dan, kita memiliki banyak contoh
bagaimana pola ini dijalankan. Salah satunya adalah Pelabuhan Teluk Bayur di
Sumatera Barat. Sebelum reformasi, di pelabuhan ini dibangun fasilitas terminal
untuk melayani peti kemas seperti gantry
crane namun bongkar-muat peti kemas hampir tidak ada. Pengusaha lebih
memilih Pelabuhan Belawan di Sumater Utara yang jauh lebih banyak dikunjungi
kapal. Menurut cerita, Pelabuhan
Teluk Bayur dibangun fasilitasnya lebih karena pejabat yang mengurusi
perhubungan negeri ini saat itu adalah urang
awak. Sehingga, rasanya tidak elok jika pelabuhan di daerah asalnya tidak
dikembangkan.
Untuk menghubungkan 24 pelabuhan
yang direncanakan itu, Jokowi merencanakan pengoperasian kapal peti kemas
berukuran 3.000 twenty foot equivalent
unit (TEU). Seorang pejabat senior Bappenas malah pernah mengatakan bahwa
kapal yang akan dioperasikan untuk tol laut berukuran 10.000 TEU. Setelah
seratus hari pemerintahan Jokowi, wacana kapal peti kemas ini hampir tidak
terdengar lagi. Sejak awal, isu kapal peti kemas untuk mendukung tol laut
memang tidak pernah jelas. Sebetulnya, tanpa jalan tol laut yang digagas
seluruh pelabuhan yang dimasukan dalam skema ini, di luar Sorong, telah
terhubung. Ada berbagai pelayaran peti
kemas domestik yang menghubungkan Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan
Makassar. Para operator pelayaran menggarap jalur ini karena ada perdagangan
yang baik antarpulau. Jadi, seluruh Indonesia sudah terkoneksi, bukan seperti
yang sering diucapkan oleh pemerintah bahwa negeri ini tidak terkoneksi.
Sementara
itu, gagasan poros maritim yang ditawarkan oleh Jokowi juga tidak banyak
bergerak dalam seratus hari pemerintahannya. Memang, ada banyak kemudahan
regulasi yang dilancarkan tetapi masih amat sektoral. Pelayaran yang menjadi center of gravity kemaritiman malah
dibebani dengan pajak yang membingungkan pelaku usaha pelayaran penghitungannya.
Di sisi lain, poros maritim tidak memberi tempat yang layak untuk pelaku usaha
asing. Tidak terdengar gagasan pemerintah untuk merevisi asas cabotage sehingga modal asing makin
bergairah dalam bidang kemaritiman. Padahal, kata kuncinya adalah... provides various facilities and
incentives to the foreign maritime-related companies doing business in it.
Dalam
bidang keamanan maritim telah didirikan Badan Keamanan Laut (Bakamla) oleh
Jokowi dalam seratus hari pemerintahannya. Sayangnya, coast guard yang UU-nya lebih dahulu disahkan dibanding UU yang
menaungi Bakamla, yaitu UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, tidak jelas
perkembangannya. Sepertinya, presiden lebih mendukung Bakamla dibanding coast guard. Apakah ini karena
menkopolhukam berhasil menekankan kepentingannya di balik pendirian Bakamla?
Dengan berdirinya Bakamla di Indonesia kini ada enam instansi yang berpatroli
di laut: TNI-AL, Polair, KPLP, Bea Cukai dan KKP.
Yang
belum disentuh sama sekali oleh presiden adalah masalah ketersediaan SDM untuk
mengurusi ke-24 pelabuhan yang akan dibangun dengan APBN itu. Sebagian besar
pelabuhan ini kemungkinannya merupakan unit pelaksana teknis (UPT) Kemenhub
atau pemda setempat nantinya. Jika pelabuhan itu dikelola oleh PT Pelabuhan
Indonesia, kita tidak perlu merasa cemas karena perusahaan pelat merah itu
sudah mendidik pegawainya dengan ilmu port
management atau port operation.
Sudahlah
pelabuhan yang akan dibangun itu belum tentu disandari oleh kapal manakala
selesai dibangun karena mereka dikembangkan lebih sebagai proyek, jangan sampai
pegawai yang menjalankannya kelak menambah handicap
tadi karena mereka tidak terampil dengan dua ilmu tersebut. Semoga.*****
Dimuat dalam SINDOWEEKLY, edisi Kamis, 12 Maret 2015
Komentar
Posting Komentar