Menggagas Transformasi Pelindo Menjadi Port Authority
Dalam
sistem kepelabuhanan di Indonesia terdapat sebuah institusi dengan fungsi dan
kewenangan yang relatif signifikan, yaitu Port
Authority atau Otoritas Pelabuhan. Berdiri tak lama setelah UU No. 17 Tahun
2008 tentang Pelayaran disahkan pada 8 Maret 2008, lembaga itu hadir di empat
pelabuhan utama di Tanah Air: Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak dan
Makassar.
Keberadaannya
disebut signifikan karena Otoritas Pelabuhan (OP) mewakili pemerintah di
pelabuhan sebagai regulator yang sebelumnya dipegang oleh PT Pelabuhan
Indonesia atau Pelindo. Dengan kewenangan yang ada di tangannya, diatur dalam
Pasal 83 Ayat 1 huruf a hingga h, OP meregulasi, antara lain, penyewaan lahan
pelabuhan dan infrastruktur lainnya.
Yang
termasuk infrastruktur lainya adalah jalan dalam area pelabuhan, kolam dan alur
keluar-masuk kapal. Sementara, jika disebut suprastruktur pelabuhan, itu berarti
berbicara tentang dermaga, pergudangan dan berbagai alat bongkar-muat seperti quay-side gantry crane, rubber-tyred gantry crane dan
sebagainya.
Sayangnya,
dalam praktek sehari-hari kewenangan OP yang ada nyaris jalan di tempat. Mengapa
demikian? Pertama, lembaga tersebut
tidak dibekali dana yang cukup. Jangankan dana untuk menjalankan fungsinya
sebagai regulator, duit untuk operasional kantor sehari-hari saja OP tidak
dibekali oleh APBN.
Sebagai
regulator OP sebetulnya juga memiliki kewajiban untuk memelihara kualitas
infrastruktur yang ia kuasai. Ambil contoh, alur pelayaran. Infrastruktur yang
satu ini harus secara teratur dikeruk (dredging).
Pengerukan harus dilakukan dalam 2 atau 4 tahun sekali tergantung tingkat
sedimentasi di alur pelayaran.
Sekali
pengerukan biaya yang dikeluarkan bisa mencapai 10 miliar rupiah bahkan dapat
jadi lebih. Di samping itu, OP juga harus merawat jalan yang berada di dalam
area pelabuhan. Karena ketiadaan dana APBN, perawatan alur pelayaran dan jalan
pelabuhan didelegasikan kepada Pelindo dan ini berlangsung sejak lama.
Sebab
kedua, ketiadaan staf yang mumpuni di
bidang manajemen dan operasional pelabuhan atau terminal. PNS yang berada di
sana kebanyakan lebih berfungsi sebagai administratur. Sementara kepala OP yang
diharapkan bisa menjadi penggerak utama bisnis pelabuhan nasional menempatkan dirinya
lebih sebagai birokrat di belakang meja.
Barangkali
kepala OP merasa fungsi kantornya hanyalah sebagai regulator yang pasif, cukup
menjadi jembatan antara Kementerian Perhubungan dengan para pihak yang ada di
pelabuhan perihal aneka peraturan yang dikeluarkan oleh Kemhub.
Atau,
bisa juga sang kepala OP tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang
manajemen dan operasional kepelabuhanan. Hampir semua kepala OP dipilih dari
PNS eselon III Kemhub yang hampir pensiun. Sehingga, terkesan jabatan yang diberikan merupakan
hadiah posisi eselon II sebelum mereka mengakhiri tugasnya. Singkat cerita, OP
yang ada hanyalah macan kertas.
Pelindo sebagai Port Authority
Secara
de facto fungsi regulator yang
diemban OP dijalankan oleh Pelindo. Padahal, sesuai UU Pelayaran No. 17 tahun 2008
mereka hanyalah operator. Dulu, mereka memang merangkap sebagai regulator di
pelabuhan. Posisi sungsang ini dimungkinkan karena peraturan tersebut
mengatakan bahwa BUMN kepelabuhanan yang ada tetap bisa menjalankan fungsinya
seperti sediakala.
Fungsi
regulator yang dijalankan oleh Pelindo itu terlihat dari berbagai pengaturan kerjasama
yang mereka lakukan dengan pihak ketiga di bidang pengoperasian terminal
(konvensional mau pun peti kemas). Jika kepala OP mau sedikit mengambil
strategi ‘menyerang’, ini merupaka salah satu tugas yang bisa ia perankan.
Mungkin akan ada komplikasi hukum tetapi tidak ada salahnya jika dicoba.
Dengan
posisinya sebagai regulator de facto
pertanyaannya kini: mengapa tidak ditransformasikan saja Pelindo menjadi Port Autority atau OP? Cukup banyak
keuntungan yang bisa dipetik jika gagasan ini mampu diwujudkan. Misalnya, jalur
komunikasi di pelabuhan akan lebih ringkas mengingat pihak ketiga yang ingin
berbisnis di pelabuhan bisa langsung mendatangi Pelindo tanpa perlu mendapat rekomendasi
dari kantor OP.
Di
samping itu, jika Pelindo menjadi OP, dinamika bisnis kepelabuhanan nasional diperkirakan
akan makin menggeliat. Pasalnya, mereka, paling tidak para direktur utamanya,
penuh ide baru dalam berusaha. Mereka orang yang profesional dalam manajemen
dan operasional pelabuhan. Jujur, kompetensi inilah yang tidak dimiliki oleh
kepala OP de jure.
Untuk
mewujudkan wacana transformasi Pelindo menjadi OP kita perlu merevisi UU No. 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran. Yang perlu direvisi adalah pengaturan tentang OP
di mana kewenangannya diserahkan kepada Pelindo dan keberadaan OP yang ada
dilebur ke dalam Direktorat Pelabuhan dan Pengerukan Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut.
Bagaimana
dengan status BUMN Pelindo? Tetap saja. Port of Rotterdam adalah Port Authority dan sekaligus juga BUMN
di Belanda sana.
Dimuat dalam BISNIS INDONESIA edisi Selasa, 6 Januari 2015
Komentar
Posting Komentar