Pelayaran Nasional dan Pemanfaatan Jejaring Sosial
Tahun depan, Masyarakat Ekonomi
Asean atau MEA akan diberlakukan di sepuluh negara anggota organisasi tersebut.
Sebagai sebuah pasar besar, tentu masalah transportasi merupakan hal yang
teramat penting bagi eksistensi MEA nantinya. Semua moda, mulai dari darat,
laut, udara hingga kereta api, diperlukan untuk memindahkan (to transport) barang dan orang dari satu
titik ke titik lainnya di seantero kawasan.
Mengingat
kondisi fisik negara-negara anggota Asean sebagian besar berbentuk kepulauan,
transportasi laut relatif menjadi lebih penting dibanding yang lainnya. Ini
berarti kapal merupakan alat angkut yang akan menjadi primadona. Namun, tipe
kapal seperti apakah yang cocok untuk melayani pergerakan barang dan orang
dalam MEA (feri, roro, atau yang lainnya), sependek pengetahuan penulis, belum
ada kajian tentang ini.
Sebagai
negara dengan perairan terbesar di Asia Tenggara, MEA menghadirkan peluang
sekaligus tantangan bagi sektor transportasi laut Indonesia. Yang dimaksud
dengan peluang adalah pelayaran nasional memiliki kesempatan yang luas menjadi
pengangkut barang-barang yang akan diantarpulaukan yang berasal dari berbagai
negara anggota Asean.
Hal
itu dimungkinkan karena adanya asas cabotage yang menitahkan bahwa pengapalan
komoditas dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di dalam negeri hanya dapat
dilakukan oleh kapal-kapal berbendera Indonesia. Sayangnya, peluang ini
dibayangi oleh kondisi ketidaksiapan sebagian besar pelaku usaha pelayaran
domestik. Ketidaksiapan ini mencakup hampir seluruh bagian dari bidang usaha
yang mereka geluti.
Pemanfaatan jejaring sosial
Tanpa bermaksud mengecilkan upaya
keras dan pencapaian yang telah dilakukan oleh pelaku usaha pelayaran nasiona
di tengah iklim usaha yang tidak mendukung, salah satu bagian yang
mengindikasikan ketidaksiapan pelayaran nasional dalam menghadapi MEA adalah pemanfaatan
jejaring sosial untuk kegiatan bisnis. Tetapi, ini tidak berarti pelayaran
nasional tidak memanfaatkan Internet sama sekali dalam aktivitas
sehari-harinya.
Hampir
semua pelayaran nasional kini sudah memiliki situs (website). Kini, di samping situs, dunia maya menawarkan pula
Twitter dan Facebook sebagai platform dalam melancarkan aktivitas bisnis. Lagi,
sejauh yang penulis ketahui, tidak ada data yang bisa menggambarkan bagaimana
situs-situs perusahaan pelayaran itu dimanfaatkan? Seberapa efektif situs-situs itu dalam, katakanlah,
pemasaran jasa pelayaran?
Jika
dikaitkan denga Twitter dan Facebook, apakah perusahaan pelayaran di Indonesia
sudah memanfaatkan jejaring sosial tersebut? Sudah berapa banyak perusahaan
pelayaran yang menggunakan Twitter/Facebook. Banyak pertanyaan lain yang bisa
diajukan. Bagi mereka yang berminat menemukan jawaban untuk
pertanyaan-pertanyaan tadi ini akan menjadi obyek penelitian yang cukup
menarik.
Penulis
mengamati sepintas lalu di Twitter dan Facebook dan menemukan fakta bahwa
banyak perusahaan pelayaran, termasuk pelayaran yang dikategorikan perusahaan
besar, tidak menggunakan kedua jejaring sosial itu. Kalau pun menggunakan,
mereka sangat pasif; mungkin mereka berpikiran “yang penting punya, soal aktif atau
tidak itu nomor dua”. Salah satu perusahaan pelayaran yang menggunakan Twitter
dan cukup aktif men-twit adalah
Global Trans Group dengan akun @Global_Trans.
Bagi
dunia pelayaran modern jejaring sosial (kadangkala disebut media sosial dan
media baru secara bergantian) berguna, antara lain, manakala terjadi kecelakaan
kapal. Dalam sebuah kecelakaan kapal, insiden atau aksiden yang berlaku dapat menjadi
berita stop press dan biasanya hal
ini langsung membetot perhatian publik dan awak media dari seluruh belahan
dunia.
Tidak
ada yang bisa menafikan arti penting teknologi dan media bagi peradaban saat
ini, termasuk bagi perusahaan pelayaran. Namun, teknologi dan media juga bisa
berdampak negatif bagi perusahaan pelayaran jika tidak dipahami dan dikelola dengan
baik. Ini berarti, dengan memanfaatkan jejaring sosial perusahaan pelayaran
dapat langsung mengadakan kontak dengan berbagai pihak begitu sebuah kecelakaan
terjadi. Respon yang cepat terhadap kecelakaan dapat mempertahankan reputasi
yang sudah dibangun selama ini.
Mengkilas
balik berbagai kecelakaan kapal yang terjadi di Tanah Air kita bisa menyaksikan
bahwa perusahaan pelayaran cenderung tidak bisa mengelola dengan baik berita
dan opini yang beredar di tengah masyarakat terkait kecelakaan yang ada. Bisa
jadi mereka tidak memikirkan reputasi perusahaannya karena barangkali hanya
perusahaan kecil.
Tetapi
coba kita bayangkan jika semua perusahaan kecil ini dikumpulkan kecuekannya
terhadap reputasi, maka kita akan memiliki agregat reputasi buruk yang merusak
nama baik industri pelayaran nasional di mata internasional. Barangkali inilah
salah penjelasan yang bisa dikemukan mengapa citra pelayaran nasional cenderung
tidak bonafid di mata perbankan, asuransi dan sebagainya. Wallahu’alam.*****
Diterbitkan dalam majalah JURNAL MARITIM edisi September 2014
Komentar
Posting Komentar