Catatan Kritis terhadap Konsep Tol Laut
Tulisan
Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono tentang tol laut yang dimuat di
harian ini beberapa waktu lalu menarik dibaca. Dari pemaparan beliau publik
kemaritiman mendapat kejelasan terkait gagasan yang diusung oleh calon presiden
Joko Widodo.
Hanya
saja, kok bukan capres nomor urut 2
itu sendiri yang menjelaskan konsepnya atau paling tidak anggota tim sukses
yang ia bentuk. Apakah itu berarti selain sebagai pejabat negara aktif wamenhub
juga sekaligus merangkap pendukung dan bagian tak terpisahkan dari tim sukses
Jokowi?
Mengingat
wamenhub adalah salah satu tokoh utama di balik gagasan Pendulum Nusantara,
lalu apa hubungan antara konsep tersebut dengan tol laut, sebuah kesinambungan
atau dua hal yang terpisah sama sekali?
Namun,
penulis tidak hendak membahas kecenderungan politis wamenhub dalam tulisan ini.
Melainkan, mencoba fokus pada konsep tol laut yang disampaikan oleh yang
bersangkutan.
KELEMAHAN
Terdapat beberapa kelemahan dalam konsep tol laut yang
digagas oleh capres Joko Widodo. Pertama,
istilah yang dipergunakan, ‘jalan tol laut’, merupakan istilah yang sudah
dipakai terlebih dahulu di lingkungan komunitas maritim internasional.
Bagi mereka, jalan tol di laut itu adalah proyek IMO
di Selat Malaka, yaitu marine electronic
highway (MEH) yang sering juga disebut information
super highway.
Sehingga, penyebutan istilah jalan tol di luar
pemahaman umum yang berlaku bisa kontraproduktif nantinya. Ingat, pelayaran
adalah salah satu bisnis yang diatur secara global karenanya kesamaan bahasa
dan pemaknaannya mutlak diperlukan.
Kedua, jalan tol
laut tidak menjelaskan secara gamblang peran apa yang harus dimainkan oleh
pelayaran nasional. Malah terkesan konsep ini tidak didiskusikan dengan
kalangan pelayaran terlebih dahulu.
Dalam konsep tol laut, operator kapal didorong untuk
mengoperasikan kapal-kapal yang lebih besar kapasitas angkutnya sehingga pada
giliran berikutnya akan menurunkan biaya logistik. Pertanyaannya, insentif
seperti apa yang disediakan untuk mereka agar mau berinvestasi membeli kapal-kapal
besar (disebut-sebut berukuran 3.000 TEU ke atas). Sayang, Joko Widodo tidak
memiliki konsep terkait hal ini.
Sebetulnya, tanpa jalan tol laut yang digagas oleh
capres Joko Widodo seluruh pelabuhan yang dimasukan dalam skema ini, di luar
Sorong, telah terhubung.
Ada berbagai pelayaran peti kemas domestik yang
menghubungkan Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Makassar. Para
operator pelayaran menggarap jalur ini karena ada perdagangan yang baik
antarpulau.
Dalam bisnis pelayaran, ships follow the trade. Artinya, selama suatu pelabuhan mampu atau
memiliki kargo pengusaha pelayaran akan dengan senang hati mengoperasikan
kapal-kapal mereka dengan pola tetap (liner) tanpa perlu diwajibkan oleh
pemerintah.
Jika tidak ada atau hanya sedikit barang yang tersedia
di pelabuhan, pengusaha pelayaran biasanya akan mengoperasikan armadanya dengan
pola tramper.
Dari sisi ongkos, tramper lebih mahal lebih dari
sistem liner. Ini karena setelah menyinggahi pelabuhan dan membongkar muatannya,
kapal yang dioperasikan dengan pola tramper biasanya kembali dengan muatan
kosong.
Sementara itu biaya bunker, pelayanan kapal di
pelabuhan dan lainnya tetap. Untuk menutup biaya-biaya tersebut, operator kapal
tramper akan mengenakan freight dua
kali lipat kepada shipper (pemilik
barang).
Inilah alasan mengapa ongkos angkut dari Jakarta ke
Indonesia timur lebih mahal dibanding ke daerah lain yang kegiatan
perekonomiannya relatif lebih berkembang seperti Medan, Padang dan lainnya.
Ketiga, jalan tol
laut akan menghadapi kendala masih beragamnya jenis kemasan (packaging) barang di berbagai pelabuhan
domestik.
Di sisi lain, sistem pendulum amat terkait dengan
dengan pelayaran peti kemas. Jika sistem ini ingin diimplementasikan, seluruh stakeholder kemaritiman harus mendorong
migrasi pengemasan barang yang akan dikapalkan menggunakan peti kemas.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, pada 2011
jumlah kargo nasional mencapai 890,9 juta ton. Namun tidak diketahui berapa
yang dikemas pengangkutannya dalam peti kemas.
Apabila diasumsikan dari jumlah kargo tersebut yang
diangkut dengan peti kemas berkisar 40%, maka kita harus mengupayakan sisanya
juga harus diangkut dalam peti kemas agar sistem pendulum yang digagas dapat
berjalan efektif. Namun, hal itu jelas tidak mungkin karena tidak semua barang
bisa dikemas dalam peti kemas.
PELAYARAN
RAKYAT
Keempat, yang juga
dapat menjadi kelemahan konsep jalan tol laut yang digagas capres Joko Widodo adalah
pelibatan pelayaran rakyat (Pelra). Apakah sistem itu hanya akan mengikutsertakan
kapal-kapal besi?
Padahal, kontribusi kapal pelra dalam mendistribusikan
barang di dalam negeri sudah tidak perlu diragukan. Armada pelralah yang
mendistribusikan berbagai kebutuhan masyarakat ke daerah-daerah terpencil yang
tidak pernah mau dilayari oleh kapal-kapal besar. Dan, harap diingat, jumlah
armada pelra relatif banyak dibanding kapal besi.****
Diterbitkan dalam harian BISNIS INDONESIA edisi Rabu, 11 Juni 2014
Komentar
Posting Komentar