Indonesia Belum Juga Meratifikasi MLC
Hellenic Shipping News
belum lama berselang melaporkan, sebuah kapal berbendera Liberia ditahan selama
dua puluh empat jam oleh Otoritas Maritim Denmark (Danish Maritime Authority) di
Pelabuhan Esbjerg karena kru yang bekerja di atas kapal Atlantic Carrier bertipe offshore
supply vessel itu tidak diikat kontrak sebagaimana diatur dalam Maritime
Labor Convention. Inilah merupakan salah satu detensi pertama yang dilakukan
oleh negara pelabuhan atau port state
sejak konvensi tersebut diberlakukan pada 20 Agustus lalu.
Maritime
Labor Convention (MLC) saat ini merupakan salah satu topik yang hangat dalam
dunia pelayaran. Soalnya ia merupakan pilar ke-empat dalam hukum maritim internasional
setelah STCW, SOLAS, dan MARPOL. Sehingga, pemberlakuannya diharapkan akan
makin mendorong bisnis pelayaran dunia menjadi lebih aman, ramah lingkungan dan
manusiawi. MLC merupakan produk dari Organisasi Buruh Internasional-ILO yang
disusun pada 2006. Dan, aturan ini boleh disebut sebagai master piece dalam bidang aturan tenaga kerja kepelautan yang
dibuat oleh organisasi yang bermarkas di Jenewa, Swiss itu. ILO sudah sejak
1940-an berupaya memperbaiki syarat dan kondisi kerja untuk ABK yang bekerja di
atas kapal di seluruh dunia.
Salah
satu yang diperjuangkan oleh ILO untuk pelaut adalah penetapan sebuah standar
pengupahan minimum. Mengapa pelaut kita membutuhkan standar upah minimum
tersendiri? Apakah pantas mereka mendapatkannya?
Menurut International
Transportworkers’ Federation (ITF), kerja pelaut sangat berat dan karenanya
memerlukan kondisi kerja yang berbeda dengan pekerja sektor lainnya. Kapal
layaknya satu pabrik. Tapi ia bergerak terus mengarungi samudera dengan
menembus badai, menerjang ombak dan kadang dihadang gerombolan perompak.
Pekerja di atasnya tentulah akan sangat terpengaruh dengan kondisi tersebut,
baik fisik maupun mental.
Kalau sudah berhadapan dengan badai
atau ombak yang menggunung, kemungkinannya hanya dua, meninggal atau selamat.
Pekerja di darat juga tidak luput dari kecelakaan, tapi ancaman kematiannya
masih jauh lebih kecil. Kini, dengan makin canggihnya teknologi di atas kapal
yang berujung pada makin sedikitnya jumlah pelaut yang dibutuhkan untuk meng-awakinya,
beban itu makin bertambah.
Jika sebelumnya seorang pelaut
mengurusi satu pekerjaan tertentu, ia sekarang harus bisa mengerjakan beberapa waktu
hampir bersamaan. Kelelahan luar biasa merupakan dampak yang tidak dapat
dihindari oleh pelaut. Keadaan akan makin parah jika ia bekerja di atas kapal
berbendera kemudahan (flag of convenience/FOC). Di kapal ini mereka
dipekerjakan dengan sangat berat tapi dengan gaji yang sangat minim, malah ada
yang tidak mendapat bayaran sama sekali. Menurut organisasi yang bermarkas di
London itu, negara yang termasuk kelompok FOC adalah, antara lain, Antigua and
Barbuda, Bahamas, Barbados, Liberia dan Perancis (second register).
Kalau pun pelaut mendapat waktu
istirahat, itu tidak terlalu banyak memberi dampak kepada mereka. Pasalnya,
tempat istirahat masih di lokasi yang sama dengan tempat bekerja. Inilah faktor
yang memengaruhi kondisi mental tadi. Jika pun mereka turun ke darat waktu yang
tersedia tidak cukup untuk bersantai secara normal. Pelaut biasanya berada di
satu pelabuhan paling lama tiga hari selanjutnya berlayar.
Alasan
belum ratifikasi
Sebagai
anggota ILO Indonesia sayangnya sampai saat ini belum meratifikasi konvensi MLC.
Pengusaha pelayaran yang tergabung dalam Indonesia Shipowners Association
(INSA) sudah menolak keinginan ini dengan alasan kapal-kapal mereka belum siap.
Pemerintah sebagai pihak yang paling berwenang untuk melakukan ratifikasi MLC
belum memberikan alasan resmi mengapa aturan tersebut belum juga diratifikasi.
Menurut
hemat pnulis, setidaknya ada dua faktor yang menjadi kekhawatiran jika
Pemerintah Indonesia belum juga meratifikasi MLC. Pertama, stabilitas politik
dan ekonomi. Pemerintah sepertinya khawatir jika MLC diratifikasi, akan muncul
efek domino di sektor-sektor lain di luar kepelautan.
Kedua,
ego sektoral. Leading agency dalam
ratifikasi MLC adalah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tapi instansi ini
hampir tidak pernah bersinggungan langsung dengan pelaut. Yang intensif
berhubungan dengan profesi itu adalah Kementerian Perhubungan namun dalam
ratifikasi konvensi tersebut Kemenhub boleh dibilang tidak memiliki peran yang
cukup signifikan. Situasi ini diperbarah dengan tidak jalannya koordinasi
antara kedua lembaga tersebut. Dan, tentunya penolakan oleh INSA menjadi bahan
pertimbangan pula mengapa MLC belum juga diratifikasi.****
Diterbitkan dalam harian KONTAN edisi 27 September 2013
Komentar
Posting Komentar