Menyoal Kinerja Marine Inspector
Kecelakaan
kapal kembali terjadi belum lama berselang. Kali ini petaka itu menenggelamkan KM Sahabat, sebuah kapal roll on-roll off (ro-ro) di perairan Teluk Jakarta.
Menurut data
yang dilansir oleh Badan Koordinasi Keamanan Laut atau Bakorkamla, angka
kecelakaan laut memang relatif tinggi. Terungkap, musibah kapal tenggelam
paling mendominasi angka gangguan keselamatan maritim di Indonesia, sekitar 141
kasus selama 2013. Sementara itu, kapal terbakar 47 kasus, terdampar 38 kasus,
dan tabrakan 32 kasus.
Kecelakaan
KM Sahabat, sebagaimana juga kecelakaan kapal lainnya yang terjadi di Tanah Air,
memunculkan tanda tanya besar mengenai kinerja marine inspector atau inspektur kelautan kita. Apakah mereka sudah betul-betul menjalankan
kewajibannya sehingga alat-alat keselamatan di atas kapal dapat bekerja dengan
baik ketika terjadi distress di
lautan?
Marine inspector
memang tidak terlalu banyak dikenal publik. Padahal, merekalah sejatinya yang
menjadi ujung tombak dari aspek safety of
navigation. Marine inspector
merupakan jabatan fungsional, bukan jabatan struktural atau jabatan yang ber-eselon di Kementerian Perhubungan (Kemhub). Orang ini bekerja sejak kapal mulai dibangun di galangan. Mereka memeriksa konstruksi
lambung, perlistrikan dan permesinan kapal, dan lainnya sesuai standar
keselamatan yang tercantum di dalam Safety of Life at Sea (SOLAS).
Dalam
prakteknya, setiap negara bisa saja mendelegasikan pekerjaan yang dilakukan
oleh marine inspector tersebut kepada
pihak lain. Sebut saja misalnya kelompok negara flag of convenience
(FoC), yaitu negara-negara yang mendelegasikan pemeriksaan aspek keselamatan kapal kepada operator kapal dari mana saja. Mereka memberi izin kapal-kapal ke negaranya hampir tanpa syarat apa-apa dari segi kelaikan kapal, penggajian pelaut dan seterusnya. Mereka hanya mau uangnya saja tapi tidak repotnya.
Di Indonesia, Kementerian
Perhubungan selaku pihak yang memegang kewenangan penerapan SOLAS – dalam
istilah IMO disebut Administration –
telah melimpahkan pemeriksaan konstruksi lambung, perlistrikan dan permesinan
kapal kepada Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). Sementara, aspek lainnya,
umpama, instalasi radio, kelaikan alat-alat keselamatan di atas kapal, masih
dilaksanakan langsung oleh Kemhub.
Kondisi
seperti itulah yang sering diistilahkan oleh pemilik kapal domestik dengan multiple classification. Pada awalnya
diklasifikasi oleh BKI kemudian diklasifikasi oleh Kemhub. Di negara lain
lazimnya pihak klasifikasi melakukan hampir seluruh pekerjaan yang terkait
dengan aspek keselamatan kapal.
Kinerja marine inspector
Mencermati
keterangan para korban selamat dari berbagai kecelakaan kapal yang terjadi di
Indonesia dan temuan pihak berwenang yang menyelidiki sebab-sebab kecelakaan
itu, terungkap bahwa sebagian besar korban tewas karena alat-alat
keselamatan yang ada di atas kapal tidak cukup atau tidak berfungsi sebagaimana
mestinya.
Dalam
kasus kebakaran misalnya, sering ditemui sprinkler
untuk menyemprot api tidak bekerja. Atau, tidak ada pemberitahuan apapun dari
awak kapal akan adanya keadaan darurat di atas kapal. Ironisnya, jika dilihat
dari aspek sertifikat untuk alat-alat keselamatan, kapal-kapal itu bersurat
lengkap. Bahkan, dalam banyak kasus kapal yang celaka baru selesai menjalani docking.
Pertanyaannya,
apakah sertifikat-sertifikat itu dikeluarkan oleh Kemhub setelah melalui
pemeriksaan yang menyeluruh oleh marine inspector-nya? Bukan hendak menyalahkan, tapi jika melihat apa yang telah
terjadi, nampaknya alat-alat keselamatan kapal itu telah diperiksa dengan tidak
teliti.
Mungkin
saja marine inspector telah
membubuhkan catatan terhadap kelaikan alat keselamatan kapal dalam sertifikat
yang dikeluarkannya sehingga pemilik kapal harus melakukan perbaikan bila masa
berlaku sertifikat perlu diperbaharui. Dan jika dalam keadaan darurat alat-alat
itu tidak berfungsi dengan baik bolehlah kesalahan dikenakan kepada mereka.
Tapi kalau marine inspector tidak
melakukan tugasnya dengan baik, mereka harus juga bisa dimintai pertanggungjawaban.
Kita
perlu pelayaran yang aman selamat untuk mendukung penerapan asas cabotage di Indonesia. Dan, itu dapat
dimulai dengan memperbaiki kinerja marine inspector agar lebih transparan dan
akuntabel.*****
Tulisan diterbitkan dalam harian KONTAN edisi Rabu, 19 Februari 2014
Komentar
Posting Komentar